, "Kalau begitu, kita berjuang bersama, Pak", demikian laki-laki 74 tahun di sebelahku itu menirukan ucapan anaknya sekitar 30 tahun lalu kepada dirinya. Dalam perjalanan pulang Surabaya-Jakarta (Bandara Halim), Sabtu pagi 8 Oktober 2016, entah bagaimana kami bercakap, sampai kepada Pak Kodrat, nama Bapak itu, yang tujuh tahun belakangan ini tinggal di Cikarang setelah pindah dari Surabaya, menceritakan perjuangan hidupnya dulu di Surabaya membangun keluarga.
Dirinya waktu itu hanya seorang supir. Jumlah anaknya empat, semua laki-laki. Tetangganya mencemooh, "Bagaimana mungkin seorang supir bisa menyekolahkan empat anak?" Maka waktu itu, demi mengetahui ucapan itu, anaknya yang masih SD pun berkata kepada sang Bapak, seperti dikutip di awal tadi. "Kita berjuang bersama, Pak..." Ini yang membuat Pak Kodrat tertegun. Tapi tekad itu pula yang membuat keluarga itu bangkit menjadi tim yang solid.
"Kami dulu miskin sekali. Untuk sepeda gowes saja, itu masih mimpi. Kami ke mana-mana jalan kaki. Untuk makan, tak jarang telur satu dibagi empat. Bahkan seringkali saya makan jambu dengan memetik dari halaman untuk mengganjal isi perut, demi uangnya untuk dibelikan lauk buat anak-anak makan dengan gizi yang lebih baik."
Keperihan hidupnya makin terasa saat anaknya suatu ketika sakit dan tidak ada uang untuk berobat. Sang Bapak yang masih muda waktu itu berjalan kaki sekitar 10 km untuk mencari bantuan kepada orangtuanya. Tapi sesampainya di depan orangtua, lidahnya kelu untuk meminta. Tak lama ia pun kembali berjalan pulang untuk menempuh 10 km lagi. Ketika berjalan kaki itu, tiba-tiba dirinya bertemu kawan lama yang menghampiri dengan mobilnya, dan memberikannya dana tanpa diminta dengan jumlah besar. Doa dan keikhlasan seringkali mendapat jawaban dari Yang Maha Kuasa yang tidak disangka-sangka. "Karena Dia Maha Pendengar," imbuhnya.
Saat anak-anaknya beranjak dewasa, keprihatinan masih menyelimuti keluarganya.
Di sekolah maupun kuliah, semua anak-anaknya mendapatkan beasiswa karena ketekunan dan kecerdasannya. Meski, pulang dari sekolah mereka dengan sukarela menjadi loper koran. "Uang hasil loper koran itu bukan buat dirinya, tapi diberikan kepada kami orangtuanya.."
Ketika anak-anaknya kuliah, meski mendapat beasiswa, tak banyak buku yang dibeli karena mereka mengerti kondisi ekonomi orangtuanya. Mereka pun mengandalkan buku-buku perpustakaan di kampus.
"Saya suka sedih melihat bagaimana anak-anak saya berangkat kuliah hanya dengan satu buku tulis yang dilipat, sementara teman-temannya bawa buku-buku yang besar-besar." Tapi anak-anaknya malah memberikan ketegaran kepada diri sang Bapak. "Ngga apa-apa Pak. Biar aja. Mereka bawa buku-buku, tapi kami bawa otak. Banyak dari mereka membawa buku ke kampus tapi tidak bawa otaknya.."
Semua diceritakan laki-laki tua yang masih tampak gagah itu dengan tatapan menerawang.
Kepedihan dan perjuangan panjang dengan diiringi keikhlasan dan kesabaran itu, kemudian berbuah manis. Dari sisi pekerjaan, kini anak-anaknya meraih sukses. Ada yang bekerja di PT Unilever, ada yang sebagai auditor BPK, yang bekerja di pabrik baja dan ada yang menjadi pejabat di PT Pertamina. Satu yang dipesankan Pak Kodrat kepada anak-anaknya adalah integritas.
"Saya punya kekhawatiran, dengan masa kecilnya yang melarat itu, dengan kedudukannya sekarang, mereka bisa saja mendendam. Tapi ternyata tidak. Mereka bisa buktikan untuk tetap bisa menjaga integritas."
"Kemudian, lebih jauh lagi, saya punya kekhawatiran juga dengan calon atau pasangan mereka. Katakanlah mereka berintegritas,, tapi bisa saja pasangan mereka mendesak secara eknomi sehingga bisa meruntuhkan integritas. Tapi alhamdulillah itu juga tidak terjadi. Doa kami selalu menyertai, dan saya yakin Allah menjaga mereka," kata kakek lima cucu itu.
Kunci dari semua itu, menurut Pak Kodrat adalah rezeki yang halal dari setiap tetes keringat dan munajat yang tidak pernah henti-hentinya dipanjatkan kepada Allah SWT. Selain itu, sambil menatap mataku erat, katanya: "Jangan pernah berhenti bersyukur dan berprasangka baik kepada Allah, apa pun dan dengan kondisi apa pun yang Allah berikan kepada kita. Percayalah, Allah tidak pernah tidur..."
Percakapan di atas ribuan feet Laut Jawa itu pun berakhir saat pesawat mendarat di lapangan terbang Halim Perdanakusumah, Jakarta.
Aku menjabat erat tangan Bapak itu. Berterima kasih atas pengalaman yang mencerahkan sekaligus mengharukan itu, sambil menyeka bening yang entah mengapa merembes di ujung mataku.