Rabu, 28 Agustus 2024

Jonan: Kepemimpinan pada Gerbong-Gerbong Kereta Api

 


Jonan: Kepemimpinan pada Gerbong-Gerbong Kereta Api

Oleh Dikdik Sadikin

 

D

ahulu, kita mengenal kereta api dengan citra yang tak elok: kotor, penuh sesak, dan tidak disiplin. Kini, perasaan yang sama mungkin sukar ditemukan. Stasiun dan gerbong kereta menjadi simbol ketertiban baru yang merasuk ke dalam nadi transportasi publik Indonesia.

Ignasius Jonan lah yang memungkinkan sebuah kemustahilan menjadi keajaiban itu terjadi. Ia datang seperti angin kencang yang mengubah lanskap, meruntuhkan bangunan-bangunan tua yang reyot, dan menanam benih-benih baru yang kelak akan tumbuh menjadi kuat. Ia tidak datang dengan janji-janji muluk. Tetapi dengan langkah kaki yang terukur, membangun perlahan dari bawah ke atas.

Pada 2009, ketika ia mulai menjabat sebagai Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia, perusahaan itu seperti raksasa yang tertidur—membesar oleh beban masa lalu, tapi tak berdaya bergerak maju. Rel-rel tua berkarat, gerbong-gerbong usang yang bergoyang, serta jadwal kereta yang kerap kali tak menentu.

Tetapi Jonan, dengan gayanya yang keras dan tanpa basa-basi, mulai mengubah semuanya. Dari dalam, ia menggoyang tubuh besar PT KAI agar bergerak lebih cepat dan lebih tepat. Seperti pemimpin yang memahami bahwa perubahan besar dimulai dari disiplin kecil, ia menekankan ketepatan waktu, baik bagi para pekerja maupun bagi kereta-kereta yang mereka operasikan. Perlahan, kata-kata seperti "delay" dan "tunggu" mulai hilang dari bibir para penumpang. Apa yang sebelumnya dianggap mustahil—ketepatan waktu dalam transportasi umum di Indonesia—menjadi nyata di bawah kepemimpinannya.

Gerbong-gerbong kereta yang sebelumnya lusuh dan berbau debu tiba-tiba berubah. Bangku-bangku yang lama tak tersentuh kini diganti dengan yang lebih nyaman. Udara panas yang mengeluh keluar dari jendela-jendela kereta mulai mereda ketika AC dipasang di setiap gerbong. Toilet-toilet yang kotor, bahkan dari gerbong mengotori sepanjang rel perjalanan, diganti dengan toilet yang resik.  KAI menjadi perusahaan yang memberi perhatian pada kenyamanan dan keamanan penumpangnya. Sesuatu yang dulu seolah terlupakan di balik kabut administrasi yang berdebu.

Jonan juga mengubah stasiun-stasiun yang telah lama kehilangan denyut kehidupan menjadi ruang publik yang modern dan bersih. Stasiun Gambir, yang dulu seperti kota mati di malam hari, kini menjadi ruang transit yang hidup, dengan toko-toko dan tempat duduk yang tertata rapi. Modernisasi infrastruktur ini tak hanya mengubah wajah stasiun, tetapi juga memulihkan rasa hormat yang hilang terhadap sistem transportasi kereta api di negeri ini.

Tapi Jonan tak berhenti hanya pada hal-hal fisik. Di dalam tubuh PT KAI, ia memutar roda manajemen agar berfungsi dengan lebih efisien. Keuangan perusahaan yang sebelumnya seperti labirin gelap mulai diterangi oleh transparansi. Sistem ticketing elektronik yang dulu hanya angan-angan, kini menjadi kenyataan. Tidak ada lagi antrian panjang mengular di loket-loket stasiun; semuanya bisa dilakukan melalui layar ponsel yang kecil.

Kemustahilan dan keajaiban itu muncul dari filosofi kepemimpinan yang dihidupkan Jonan. Ia menghabiskan lima tahun di PT KAI, lebih sering tidur di stasiun atau di mess karyawan daripada di rumahnya sendiri. "Leader has to be seen," katanya dalam sebuah wawancara. Ia tahu, kepemimpinan bukanlah soal memerintah dari balik meja, melainkan tentang hadir di lapangan, menyelami kondisi riil, dan menunjukkan contoh nyata. "I walk the talk," ujar Jonan, seolah mengingatkan kita pada ucapan Gandhi, "Be the change you wish to see in the world."

Keberhasilan transformasi PT KAI bukan semata-mata karena kebijakan teknis atau manajerial. Lebih dari itu, Jonan menyuntikkan disiplin, kerja keras, dan integritas dalam tubuh perusahaan yang hampir mati. Ia menghapus bangunan-bangunan liar di stasiun-stasiun, membersihkan terminal dari warung-warung yang tidak memiliki izin. Keputusan yang tentu tak populis.

Seorang mahasiswa Universitas Indonesia bahkan pernah mengirim protes, mengklaim bahwa penertiban tersebut menghancurkan masa depan keluarganya. Namun, Jonan tidak bergeming. Ia justru membiayai pendidikan mahasiswa itu hingga selesai, menggunakan uang pribadinya. Jonan bukan hanya menegakkan aturan, tetapi juga menanamkan nilai keadilan dengan tindakan konkret.

Jonan tahu, perubahan besar tidak dapat dicapai hanya dengan kerja keras semata. Ada aspek lain yang sering diabaikan pemimpin: kepercayaan. "Pemimpin harus membuat orang yang dipimpinnya percaya," kata Jonan.

Dengan kata lain, kepemimpinan bukan hanya tentang membuat orang paham akan tujuan organisasi, tetapi juga tentang membuat mereka yakin bahwa perubahan itu demi kebaikan bersama. Kepercayaan inilah yang dibangun Jonan dari waktu ke waktu. Ia mengajak puluhan ribu pegawai KAI untuk bersama-sama memikul tanggung jawab, bukan hanya demi perusahaan, tetapi juga demi bangsa.

Namun, di balik segala capaian Jonan, ada satu hal yang mungkin tak banyak orang tahu: ia adalah seorang akuntan.

Seperti akuntan lainnya, ia terbiasa dengan angka dan keseimbangan. Bagi Jonan, fakta dan realitas adalah landasan dari setiap keputusan. "Fakta adalah satu-satunya pengetahuan yang kita miliki," kata Jonan, mengingatkan kita pada apa yang dikatakan John Adams, “Facts are stubborn things; and whatever may be our wishes, our inclinations, or the dictates of our passions, they cannot alter the state of facts and evidence.”

Dari sinilah Jonan memimpin, dari keseimbangan antara realitas dan harapan, antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum. Ia memahami bahwa kepemimpinan adalah tentang menciptakan harmoni dalam disonansi, tentang menjaga keseimbangan di tengah perubahan. Keseimbangan inilah yang menjadi kunci keberhasilannya. Transformasi PT KAI adalah bukti bahwa dengan kerja keras, disiplin, dan integritas, perubahan yang tampak mustahil bisa menjadi kenyataan.

"Kita makan sehari tiga kali. Punya mobil lima juga tidak bisa dipakai sekaligus. Punya pakaian sepuluh juga tidak bisa dipakai bersamaan," katanya. Dalam ucapannya, kita menangkap ketulusan seorang pemimpin yang meletakkan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi. Sebuah prinsip yang sejalan dengan ajaran Stoisisme: bahwa kebahagiaan sejati datang dari pengendalian diri dan pengabdian pada yang lebih besar.

Kepemimpinan Jonan di PT KAI adalah contoh nyata bahwa dengan visi yang jelas, kehadiran di lapangan, dan komitmen pada prinsip, seorang pemimpin bisa mengubah arah sejarah. Ia bukan hanya memimpin dengan otoritas, tetapi dengan moralitas. Transformasi yang ia lakukan bukanlah sekadar pembenahan fisik, melainkan pembentukan ulang budaya kerja dan mentalitas, sebuah warisan yang tak ternilai harganya.

Dan dengan itu, Jonan memberi kita sebuah pelajaran. Bahwa perubahan tidak selalu datang dari revolusi besar atau retorika yang bergemuruh. Terkadang, ia lahir dari keputusan-keputusan kecil yang disiplin, dari keberanian untuk bertanya: "Bagaimana jika ini bisa lebih baik?"

Dan Jonan, dengan segala kekerasannya, ternyata menyalakan api perubahan itu. Ia menumbuhkan keyakinan baru bahwa yang tua bisa diperbaiki, yang rusak bisa diperbarui, dan yang telah hilang bisa ditemukan kembali.

Seperti rel-rel yang terentang jauh, perubahan yang Jonan bawa akan terus melaju ke depan. Sesekali, kereta mungkin akan berhenti di sebuah stasiun, tetapi tidak akan lama sebelum ia bergerak kembali—dengan kepastian, dengan kecepatan, dan dengan janji yang ditepati.

Ketika kita menatap kereta api yang melaju cepat di rel yang tertata rapi, kita mungkin bisa merasakan semangat Jonan yang masih hidup dalam setiap gerbongnya. Sebuah pengingat bahwa di balik setiap keberhasilan besar, ada sosok yang tak henti bekerja keras, berpikir cerdas, dan berdedikasi penuh untuk perubahan. n

Jakarta, 28 Agustus 2024

Di Antara Retakan Keadilan dan Cita-cita Emas

 


Di Antara Retakan Keadilan dan Cita-cita Emas

Oleh Dikdik Sadikin

Di mana sesungguhnya letak demokrasi kita? Jika suara-suara terbungkam di tengah hiruk-pikukyang diatur. Jika hukum, yang semestinya menegakkan keadilan, berubah menjadi alat kekuasaan yang membentengi keangkuhan.

Tahun-tahun yang panjang telah kita lalui sejak proklamasi. Pada setiap tanggal 17 Agustus, kita selalu merayakan kemerdekaan—kadang dengan gegap gempita, kadang dengan renungan hening. Tetapi di balik euforia itu, pertanyaan yang tak bisa dihindari muncul: kemerdekaan seperti apa yang telah kita capai?

Ada semacam retakan di dalam tubuh demokrasi kita—retakan yang, jika tak segera diperbaiki, bisa menjadi jurang yang dalam. Retakan yang sedikit demi sedikit mengikis cita-cita kemerdekaan bangsa ini. Retakan yang bermula dari jargon yang kita kutip dengan khidmat dari Lincoln tentang demokrasi. Bahwa demokrasi itu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Tapi, di negeri yang beribu pulau ini, apakah rakyat masih menjadi pusat? Atau rakyat, yang berada pada retakan seberang sana, hanya sekadar penonton yang diberi ilusi partisipasi?

Retakan itu tampak jelas ketika Putusan Mahkamah Konstitusi tidak lagi menjadi suara tertinggi dari keadilan, melainkan justru diabaikan. Putusan MK Nomor 60 dan 70 yang tak dihiraukan adalah cermin buram dari wajah kita yang semakin lupa pada kedaulatan rakyat. Seolah-olah kata-kata dalam Undang-Undang Dasar, yang seharusnya menjadi konstitusi tertinggi itu, hanyalah mantra kosong, yang berulang diucapkan tanpa makna. Bahkan tanpa rasa bersalah.

Saya jadi teringat dengan Sabda Nabi bahwa sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian. “Kalian mendoakan mereka dan mereka mendoakan kalian. Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah yang kalian benci dan mereka membenci kalian. Kalian melaknat mereka dan mereka melaknat kalian.” Lantas, bagaimana dengan kita?

Bukankah kita memiliki budaya yang luhur. Budaya yang menjunjung tinggi rasa kebersamaan, gotong royong, dan keikhlasan dalam membantu sesama. Itu yang selalu kita katakan dengan penuh takzim dan rasa percaya diri.

Keguyuban itu masih kita temukan dalam tradisi "gotong royong" di pedesaan. Masyarakat desa bersatu padu membangun desa atau membantu tetangga. Bersatu dalam rasa kebersamaan dan kepedulian, demi menghilangkan rasa perih yang juga turut dirasakan ketika di sekitarnya menderita. Itu sesungguhnya harta dan peradaban yang tak ternilai dari bangsa kita.

Namun, ketika kewenangan diberikan kepada sebagian kita untuk memerintah, ketika uang negara dan daerah berada di tangan yang sama, kemana perginya semua itu? Mengapa nilai-nilai luhur itu sering kali tersingkirkan? Kekuasaan kemudian berubah menjadi alat untuk kepentingan pribadi. Anggaran yang seharusnya untuk kesejahteraan bersama, malah dicuri, dikorupsi, tanpa rasa malu. Maka, retakan itu semakin dalam ketika mereka yang diberi amanah memilih mengkhianati rakyat yang seharusnya dibantu dengan kewenangan yang dimilikinya.

“Pengkhianatan” itu terjadi saat anggaran yang seharusnya digunakan untuk membangun sekolah, rumah sakit, dan infrastruktur publik, malah jatuh ke tangan-tangan serakah yang hanya memperkaya diri sendiri. Kebersamaan dalam kebaikan yang dulu menjadi kebanggaan kita, sekarang terasa asing ketika dihadapkan pada praktik-praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Alih-alih demi kebaikan, kebersamaan dalam kejahatan justru digunakan untuk mencuri harta negara, mengkhianati rakyat sebagai pemilik sah republik ini.

Benarkah nilai luhur bangsa itu kini hanya tinggal dongeng. Atau sebuah mimpi. Sebuah fatamorgana yang berusaha kita yakini demi mengobati luka, demi mengaburkan dan menafikkan kenyataan di depan mata?

Ada yang berkata, kekuasaan tanpa cinta adalah kekuasaan yang rapuh. Tapi kekuasaan di negeri ini, tampaknya, lebih takut kehilangan kendali daripada kehilangan cinta. Kita menyaksikan hukum menjadi instrumen yang bisa dibengkokkan demi kepentingan pribadi atau golongan. Dalam semangat yang berbeda, Gandhi pernah berujar bahwa kekuasaan yang sejati hanya bertahan jika ia didasari cinta. Maka, adakah cinta itu di antara kita?

Kita berulang kali mendengar janji, bahwa Indonesia akan menjadi negara yang maju pada tahun 2045. Di seberang sana, ada visi yang dinamakan "Indonesia Emas"—sebuah masa depan di mana kemakmuran dan kejayaan menyelimuti negeri ini. Tapi, cita-cita itu akan tetap menjadi mimpi jika pondasi demokrasi kita rapuh. Jika kedaulatan rakyat tergerus oleh ambisi sekelompok kecil yang berkuasa.

Barangkali, kita perlu kembali merenung. Setidaknya mengingat apa yang pernah dikatakan John Stuart Mill dalam “On Liberty”: kebebasan bukanlah hal yang bisa dijamin selamanya, tetapi sesuatu yang harus selalu dijaga dengan kewaspadaan. Rakyat harus tetap terjaga. Tak boleh terbuai oleh retorika yang menjanjikan, tetapi tak pernah memenuhi janji.

Lantas, apa yang bisa kita lakukan?

Pertama, kita perlu memperbaiki sistem yang telah menyempitkan ruang partisipasi. Ambang batas pencalonan yang tinggi hanyalah cara halus untuk membungkam suara-suara yang berani berbeda. Dan pendidikan politik, yang kini sering terabaikan, harus diajarkan sejak dini. Generasi muda tak boleh buta politik; mereka harus dibekali dengan kesadaran kritis.

Lebih dari itu, transparansi dan akuntabilitas pemerintah harus menjadi syarat mutlak. Pemerintah yang tertutup hanya akan menambah kecurigaan. Dan kecurigaan adalah awal dari keruntuhan kepercayaan. Teknologi bisa membantu, tapi yang terpenting adalah kemauan untuk terbuka.

Saya teringat dengan apa yang pernah dikatakan Bung Karno, bahwa perjuangan akan menjadi lebih sulit, ketika musuh yang kita hadapi bukan lagi penjajah dari bangsa asing, melainkan dari diri kita sendiri. Korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah musuh dari dalam yang harus dihancurkan jika kita ingin melihat Indonesia menjadi "Indonesia Emas."

Tetapi, tentu, harapan itu masih ada. Kita masih bisa memperbaiki retakan ini sebelum ia menjadi jurang. Kita masih bisa merajut kembali benang-benang demokrasi yang tercerai-berai. Dan ketika 2045 tiba, kita berharap bahwa kita bisa melihat ke belakang dengan bangga. Bahwa Indonesia bukan hanya merdeka secara fisik, tetapi juga merdeka dalam arti yang sebenarnya—merdeka dari ketidakadilan, dari ketakutan, dan dari penindasan. 

Jakarta, 28 Agustus 2024