Di Antara Retakan Keadilan dan Cita-cita Emas
Oleh
Dikdik Sadikin
Di mana sesungguhnya letak demokrasi kita? Jika suara-suara terbungkam di tengah hiruk-pikukyang diatur. Jika hukum, yang semestinya menegakkan keadilan, berubah menjadi alat kekuasaan yang membentengi keangkuhan.
Tahun-tahun
yang panjang telah kita lalui sejak proklamasi. Pada setiap tanggal 17 Agustus,
kita selalu merayakan kemerdekaan—kadang dengan gegap gempita, kadang dengan
renungan hening. Tetapi di balik euforia itu, pertanyaan yang tak bisa
dihindari muncul: kemerdekaan seperti apa yang telah kita capai?
Ada
semacam retakan di dalam tubuh demokrasi kita—retakan yang, jika tak segera
diperbaiki, bisa menjadi jurang yang dalam. Retakan yang sedikit demi sedikit
mengikis cita-cita kemerdekaan bangsa ini. Retakan yang bermula dari jargon
yang kita kutip dengan khidmat dari Lincoln tentang demokrasi. Bahwa demokrasi
itu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Tapi, di negeri
yang beribu pulau ini, apakah rakyat masih menjadi pusat? Atau rakyat, yang
berada pada retakan seberang sana, hanya sekadar penonton yang diberi ilusi
partisipasi?
Retakan
itu tampak jelas ketika Putusan Mahkamah Konstitusi tidak lagi menjadi suara
tertinggi dari keadilan, melainkan justru diabaikan. Putusan MK Nomor 60 dan 70
yang tak dihiraukan adalah cermin buram dari wajah kita yang semakin lupa pada
kedaulatan rakyat. Seolah-olah kata-kata dalam Undang-Undang Dasar, yang
seharusnya menjadi konstitusi tertinggi itu, hanyalah mantra kosong, yang berulang
diucapkan tanpa makna. Bahkan tanpa rasa bersalah.
Saya
jadi teringat dengan Sabda Nabi bahwa sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang
kalian cintai dan mereka mencintai kalian. “Kalian mendoakan mereka dan mereka
mendoakan kalian. Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah yang kalian benci dan
mereka membenci kalian. Kalian melaknat mereka dan mereka melaknat kalian.” Lantas,
bagaimana dengan kita?
Bukankah
kita memiliki budaya yang luhur. Budaya yang menjunjung tinggi rasa
kebersamaan, gotong royong, dan keikhlasan dalam membantu sesama. Itu yang
selalu kita katakan dengan penuh takzim dan rasa percaya diri.
Keguyuban
itu masih kita temukan dalam tradisi "gotong royong" di pedesaan. Masyarakat
desa bersatu padu membangun desa atau membantu tetangga. Bersatu dalam rasa
kebersamaan dan kepedulian, demi menghilangkan rasa perih yang juga turut dirasakan
ketika di sekitarnya menderita. Itu sesungguhnya harta dan peradaban yang tak
ternilai dari bangsa kita.
Namun,
ketika kewenangan diberikan kepada sebagian kita untuk memerintah, ketika uang
negara dan daerah berada di tangan yang sama, kemana perginya semua itu? Mengapa
nilai-nilai luhur itu sering kali tersingkirkan? Kekuasaan kemudian berubah
menjadi alat untuk kepentingan pribadi. Anggaran yang seharusnya untuk
kesejahteraan bersama, malah dicuri, dikorupsi, tanpa rasa malu. Maka, retakan
itu semakin dalam ketika mereka yang diberi amanah memilih mengkhianati rakyat
yang seharusnya dibantu dengan kewenangan yang dimilikinya.
“Pengkhianatan”
itu terjadi saat anggaran yang seharusnya digunakan untuk membangun sekolah,
rumah sakit, dan infrastruktur publik, malah jatuh ke tangan-tangan serakah
yang hanya memperkaya diri sendiri. Kebersamaan dalam kebaikan yang dulu
menjadi kebanggaan kita, sekarang terasa asing ketika dihadapkan pada
praktik-praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Alih-alih demi kebaikan,
kebersamaan dalam kejahatan justru digunakan untuk mencuri harta negara,
mengkhianati rakyat sebagai pemilik sah republik ini.
Benarkah
nilai luhur bangsa itu kini hanya tinggal dongeng. Atau sebuah mimpi. Sebuah
fatamorgana yang berusaha kita yakini demi mengobati luka, demi mengaburkan dan
menafikkan kenyataan di depan mata?
Ada
yang berkata, kekuasaan tanpa cinta adalah kekuasaan yang rapuh. Tapi kekuasaan
di negeri ini, tampaknya, lebih takut kehilangan kendali daripada kehilangan
cinta. Kita menyaksikan hukum menjadi instrumen yang bisa dibengkokkan demi
kepentingan pribadi atau golongan. Dalam semangat yang berbeda, Gandhi pernah
berujar bahwa kekuasaan yang sejati hanya bertahan jika ia didasari cinta.
Maka, adakah cinta itu di antara kita?
Kita
berulang kali mendengar janji, bahwa Indonesia akan menjadi negara yang maju
pada tahun 2045. Di seberang sana, ada visi yang dinamakan "Indonesia
Emas"—sebuah masa depan di mana kemakmuran dan kejayaan menyelimuti negeri
ini. Tapi, cita-cita itu akan tetap menjadi mimpi jika pondasi demokrasi kita
rapuh. Jika kedaulatan rakyat tergerus oleh ambisi sekelompok kecil yang
berkuasa.
Barangkali,
kita perlu kembali merenung. Setidaknya mengingat apa yang pernah dikatakan
John Stuart Mill dalam “On Liberty”:
kebebasan bukanlah hal yang bisa dijamin selamanya, tetapi sesuatu yang harus
selalu dijaga dengan kewaspadaan. Rakyat harus tetap terjaga. Tak boleh terbuai
oleh retorika yang menjanjikan, tetapi tak pernah memenuhi janji.
Lantas,
apa yang bisa kita lakukan?
Pertama,
kita perlu memperbaiki sistem yang telah menyempitkan ruang partisipasi. Ambang
batas pencalonan yang tinggi hanyalah cara halus untuk membungkam suara-suara
yang berani berbeda. Dan pendidikan politik, yang kini sering terabaikan, harus
diajarkan sejak dini. Generasi muda tak boleh buta politik; mereka harus
dibekali dengan kesadaran kritis.
Lebih
dari itu, transparansi dan akuntabilitas pemerintah harus menjadi syarat
mutlak. Pemerintah yang tertutup hanya akan menambah kecurigaan. Dan kecurigaan
adalah awal dari keruntuhan kepercayaan. Teknologi bisa membantu, tapi yang
terpenting adalah kemauan untuk terbuka.
Saya
teringat dengan apa yang pernah dikatakan Bung Karno, bahwa perjuangan akan
menjadi lebih sulit, ketika musuh yang kita hadapi bukan lagi penjajah dari
bangsa asing, melainkan dari diri kita sendiri. Korupsi, kolusi, dan nepotisme
adalah musuh dari dalam yang harus dihancurkan jika kita ingin melihat
Indonesia menjadi "Indonesia Emas."
Tetapi,
tentu, harapan itu masih ada. Kita masih bisa memperbaiki retakan ini sebelum
ia menjadi jurang. Kita masih bisa merajut kembali benang-benang demokrasi yang
tercerai-berai. Dan ketika 2045 tiba, kita berharap bahwa kita bisa melihat ke
belakang dengan bangga. Bahwa Indonesia bukan hanya merdeka secara fisik,
tetapi juga merdeka dalam arti yang sebenarnya—merdeka dari ketidakadilan, dari
ketakutan, dan dari penindasan.
Jakarta, 28 Agustus 2024
Tidak ada komentar:
Posting Komentar