Ketika menonton “The Accountant”, saya membayangkan kemungkinan Bill Dubuque, sang penulis skenario, kesulitan memberikan judul yang dibintangi oleh Ben Affleck, Anna Kendrick dan J.K. Simmons itu, apakah harus diberikan judul The Accountant ataukah The Autism? Film yang saya tonton itu bicara mengenai laki-laki bernama Christian Wolff, diperankan aktor ganteng Ben Affleck, yang mengidap autisme sejak kecil (Wolff kecil diperankan Seth Lee), hingga dewasanya menjadi akuntan. Tapi dari dua pilihan itu, judul The Accountant diambil, barangkali karena stereotype masyarakat terhadap profesi ini. Orang autis belum tentu akuntan. Tetapi akuntan menurut pandangan masyarakat, bisa jadi, dekat-dekat dengan autis.
Simak saja film besutan Gavin O’Connor itu. Ketelitian sang tokoh Christian Wolff yang luar biasa, ketajaman konsentrasi untuk fokus sampai tujuan, yang digambarkan bagaimana sang tokoh semasa kanak berteriak demikian histerisnya ketika menyusun puzzle, hanya karena kehilangan satu kepingan puzzle terakhirnya, seakan menyampaikan pesan bahwa profesi akuntan ini cocok bahkan memberikan masa depan cerah bagi anak pengidap autisme.
Ayah Wolff sangat ingin anaknya menjadi "normal", mengabaikan potensi dan kelebihan yang dimiliki si anak. "Kamu berbeda. Cepat atau lambat, perbedaan menakuti orang," kata ayahnya.
Maka, Wolff ketika dewasa memiliki sebuah firma kecil dan tinggal di sebuah rumah yang hampir kosong. Dia memiliki mobil dengan perangkat komputer canggih yang bisa berbicara.
Rupanya firma ini semacam kedok. Klien Wolff adalah penjahat kelas berat di Teheran, Tel Aviv, dan Napoli yang menyewa dirinya untuk membereskan keuangan mereka.
Kedisiplinan yang gila dan keinginan yang keras dari kecil sampai dewasa, bukan saja terlihat pada kecermatan terhadap angka-angka, tetapi juga pada kerapihan tata letak ruangan, penyusunan baju-baju, buku-buku, dan lukisan di ruangan, bahkan terlihat pula sampai kepada tata letak sendok garpu di meja dan tatanan lauk di piringnya saat ia hendak makan. Semua digambarkan dengan kedisiplinan dan energi ekstrim seorang autis yang, ternyata wow, sangat menunjang profesinya sebagai akuntan. Meski profesi akuntan yang dijalankan Wolff memang bukan di jalan yang lurus, dan jelas saja jalan yang diambilnya memiliki risiko sangat tinggi.
"Kartel narkoba, penjual senjata, pencuci uang, pembunuh. Bayangkan rahasia yang dimilikinya," ujar Ray King (JK Simmons), direktur di Departemen Keuangan, yang memburu Wolff.
Mengetahui bahwa Departemen Keuangan memburunya, Wolff lalu mengambil klien legal, Living Robotic yang bergerak di bidang pengadaan kaki dan tangan palsu. Pemiliknya, Lamar Blackburn (John Lithgow), menugasi Wolff untuk menyelidiki perbedaan neraca sebesar 61 juta dollar AS yang terselip pada 15 tahun pembukuan.
Wolff mendapat bantuan Dana Cummings (Anna Kendrick), akuntan yunior dan penggemar berat matematika seperti dirinya.
Kehadiran Dana menggugah Wolff yang kaku dan penyendiri. Sinergi keduanya menghasilkan kinerja berupa "temuan" pembukuan dalam pembukuan selama 15 tahun buku sekaligus analisis penyebabnya. Tak pelak lagi, dengan temuan itu, nyawa keduanya terancam. Baku pukul dan baku tembak pun mewarnai film ini.
Yang tidak disangka, film ini juga mengambil setting Indonesia. Begini: untuk menyalurkan energi berlebihnya, sang ayah menyuruh Wolff dan kakaknya semasa kanak, belajar pencak silat di Jakarta. Ayahnya sendiri yang menunggu di serambi saat latihan berlangsung di halaman, sambil membaca The Jakarta Post. Meski anaknya sudah babak belur dan tersungkur karena dihajar sang guru dalam latihan itu, sang ayah masih memerintahkan sang guru untuk meneruskan latihannya. Adalah Wolff sang anak yang merespon, dengan muka sembab penuh luka, berbahasa Indonesia kepada guru pencak silatnya, “Tidak apa-apa. Lanjutkan saja...”
Akuntansi dan auditing sendiri, dengan demikian, bisa dianggap memerlukan energi lebih yang dapat ideal dipenuhi seorang autis, seperti halnya pencak silat. Keseriusan dan energi berlebih ditunjukkan manakala Wolff dewasa di Amerika, yang dalam tempo semalam dirinya sanggup mengaudit akuntansi 15 tahun tahun buku, dengan temuan kecurangan yang menjadi sentral permasalahan film ini.
Sosok akuntan di sini barangkali hanya salah satu obsesi dari sang produser Lynette Howell dan Mark Williams. Karena biasanya akuntan digambarkan nerd dan ”cupu”, seperti akuntan yang digambarkan di film The Untouchable garapan Brian De Palma (1987) yang akuntannya justru menjadi sasaran empuk pembunuhan. Sebaliknya, di film ini sang akuntan tampil tidak hanya piawai bermain dengan kalkulator, tetapi juga mahir memainkan senjata berat dan berotot. Imaji Affleck yang lekat sebagai pemeran Bruce Wayne di fim Batman, tampaknya tidak ingin disia-siakan. Maka sang akuntan di film ini pun menjelma menjadi sosok perkasa dan dingin, bagaikan Batman tanpa kostum. Muncul lah sosok akuntan yang bukan saja mahir berhitung mengurai angka-angka akuntansi, kemudian menemukan kecurangan keuangan, tetapi bahkan juga, seperti Batman, bisa menguber (sekaligus diuber) dengan senjata lengkap di tangan, dan piawai berkelahi dengan kemahiran pencak silatnya melawan si pembuat kecurangan tadi beserta antek-anteknya.
Kalau pun ada yang mengganggu di film ini adalah metode penceritaan flash back masa kecil ke dewasa yang sering bolak-balik. Jalan ceritanya berputar-putar dan memerlukan banyak tokoh untuk mengupasnya satu per satu, seperti menyusun puzzle. Hal ini menyebabkan penonton bakal tidak bisa meleng barang sedikitpun kalau tidak ingin ketinggalan cerita.
Semua tokohnya seakan memiliki rahasia. Terlebih perjumpaan Wolff dengan Braxton (John Bernthal), penjahat yang memburunya, berakhir mengejutkan.
Selain itu, gambaran bahwa anak autis kelak bisa menjadi akuntan yang hebat, barangkali perlu dicermati secara hati-hati. Bahwa profesi akuntan, terutama sebagai auditor forensik yang digambarkan dalam film itu, memerlukan keseriusan tingkat tinggi, sebenarnya tidak salah. Audit forensik sendiri adalah audit yang bertujuan untuk membuktikan ada atau tidaknya fraud (kecurangan) yang hasilnya dapat digunakan dalam proses litigasi atau hukum. Tapi bahwa profesi akuntan ini cocok untuk mereka yang mengidap autisme, atau sebaliknya bahwa akuntan itu umumnya pengidap autisme, memang belum tentu benar, walaupun bisa saja terjadi. Setidaknya belum ada penelitian semacam itu.
Hanya saja, sebuah film, seperti The Accountant dan film-film box office lainnya, tampaknya memang memerlukan motif dengan dramatisasi dan romantisme, bahkan thriller tersendiri, yang cenderung berlebihan untuk dapat menarik hati penonton, entah akuntan atau bukan. Karena itu, soal akuntan yang autis, saya yakin teman-teman seprofesi pun tak bakal ambil pusing. Namanya juga film.
(Dikdik Sadikin)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar