Rabu, 28 Agustus 2024

Jonan: Kepemimpinan pada Gerbong-Gerbong Kereta Api

 


Jonan: Kepemimpinan pada Gerbong-Gerbong Kereta Api

Oleh Dikdik Sadikin

 

D

ahulu, kita mengenal kereta api dengan citra yang tak elok: kotor, penuh sesak, dan tidak disiplin. Kini, perasaan yang sama mungkin sukar ditemukan. Stasiun dan gerbong kereta menjadi simbol ketertiban baru yang merasuk ke dalam nadi transportasi publik Indonesia.

Ignasius Jonan lah yang memungkinkan sebuah kemustahilan menjadi keajaiban itu terjadi. Ia datang seperti angin kencang yang mengubah lanskap, meruntuhkan bangunan-bangunan tua yang reyot, dan menanam benih-benih baru yang kelak akan tumbuh menjadi kuat. Ia tidak datang dengan janji-janji muluk. Tetapi dengan langkah kaki yang terukur, membangun perlahan dari bawah ke atas.

Pada 2009, ketika ia mulai menjabat sebagai Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia, perusahaan itu seperti raksasa yang tertidur—membesar oleh beban masa lalu, tapi tak berdaya bergerak maju. Rel-rel tua berkarat, gerbong-gerbong usang yang bergoyang, serta jadwal kereta yang kerap kali tak menentu.

Tetapi Jonan, dengan gayanya yang keras dan tanpa basa-basi, mulai mengubah semuanya. Dari dalam, ia menggoyang tubuh besar PT KAI agar bergerak lebih cepat dan lebih tepat. Seperti pemimpin yang memahami bahwa perubahan besar dimulai dari disiplin kecil, ia menekankan ketepatan waktu, baik bagi para pekerja maupun bagi kereta-kereta yang mereka operasikan. Perlahan, kata-kata seperti "delay" dan "tunggu" mulai hilang dari bibir para penumpang. Apa yang sebelumnya dianggap mustahil—ketepatan waktu dalam transportasi umum di Indonesia—menjadi nyata di bawah kepemimpinannya.

Gerbong-gerbong kereta yang sebelumnya lusuh dan berbau debu tiba-tiba berubah. Bangku-bangku yang lama tak tersentuh kini diganti dengan yang lebih nyaman. Udara panas yang mengeluh keluar dari jendela-jendela kereta mulai mereda ketika AC dipasang di setiap gerbong. Toilet-toilet yang kotor, bahkan dari gerbong mengotori sepanjang rel perjalanan, diganti dengan toilet yang resik.  KAI menjadi perusahaan yang memberi perhatian pada kenyamanan dan keamanan penumpangnya. Sesuatu yang dulu seolah terlupakan di balik kabut administrasi yang berdebu.

Jonan juga mengubah stasiun-stasiun yang telah lama kehilangan denyut kehidupan menjadi ruang publik yang modern dan bersih. Stasiun Gambir, yang dulu seperti kota mati di malam hari, kini menjadi ruang transit yang hidup, dengan toko-toko dan tempat duduk yang tertata rapi. Modernisasi infrastruktur ini tak hanya mengubah wajah stasiun, tetapi juga memulihkan rasa hormat yang hilang terhadap sistem transportasi kereta api di negeri ini.

Tapi Jonan tak berhenti hanya pada hal-hal fisik. Di dalam tubuh PT KAI, ia memutar roda manajemen agar berfungsi dengan lebih efisien. Keuangan perusahaan yang sebelumnya seperti labirin gelap mulai diterangi oleh transparansi. Sistem ticketing elektronik yang dulu hanya angan-angan, kini menjadi kenyataan. Tidak ada lagi antrian panjang mengular di loket-loket stasiun; semuanya bisa dilakukan melalui layar ponsel yang kecil.

Kemustahilan dan keajaiban itu muncul dari filosofi kepemimpinan yang dihidupkan Jonan. Ia menghabiskan lima tahun di PT KAI, lebih sering tidur di stasiun atau di mess karyawan daripada di rumahnya sendiri. "Leader has to be seen," katanya dalam sebuah wawancara. Ia tahu, kepemimpinan bukanlah soal memerintah dari balik meja, melainkan tentang hadir di lapangan, menyelami kondisi riil, dan menunjukkan contoh nyata. "I walk the talk," ujar Jonan, seolah mengingatkan kita pada ucapan Gandhi, "Be the change you wish to see in the world."

Keberhasilan transformasi PT KAI bukan semata-mata karena kebijakan teknis atau manajerial. Lebih dari itu, Jonan menyuntikkan disiplin, kerja keras, dan integritas dalam tubuh perusahaan yang hampir mati. Ia menghapus bangunan-bangunan liar di stasiun-stasiun, membersihkan terminal dari warung-warung yang tidak memiliki izin. Keputusan yang tentu tak populis.

Seorang mahasiswa Universitas Indonesia bahkan pernah mengirim protes, mengklaim bahwa penertiban tersebut menghancurkan masa depan keluarganya. Namun, Jonan tidak bergeming. Ia justru membiayai pendidikan mahasiswa itu hingga selesai, menggunakan uang pribadinya. Jonan bukan hanya menegakkan aturan, tetapi juga menanamkan nilai keadilan dengan tindakan konkret.

Jonan tahu, perubahan besar tidak dapat dicapai hanya dengan kerja keras semata. Ada aspek lain yang sering diabaikan pemimpin: kepercayaan. "Pemimpin harus membuat orang yang dipimpinnya percaya," kata Jonan.

Dengan kata lain, kepemimpinan bukan hanya tentang membuat orang paham akan tujuan organisasi, tetapi juga tentang membuat mereka yakin bahwa perubahan itu demi kebaikan bersama. Kepercayaan inilah yang dibangun Jonan dari waktu ke waktu. Ia mengajak puluhan ribu pegawai KAI untuk bersama-sama memikul tanggung jawab, bukan hanya demi perusahaan, tetapi juga demi bangsa.

Namun, di balik segala capaian Jonan, ada satu hal yang mungkin tak banyak orang tahu: ia adalah seorang akuntan.

Seperti akuntan lainnya, ia terbiasa dengan angka dan keseimbangan. Bagi Jonan, fakta dan realitas adalah landasan dari setiap keputusan. "Fakta adalah satu-satunya pengetahuan yang kita miliki," kata Jonan, mengingatkan kita pada apa yang dikatakan John Adams, “Facts are stubborn things; and whatever may be our wishes, our inclinations, or the dictates of our passions, they cannot alter the state of facts and evidence.”

Dari sinilah Jonan memimpin, dari keseimbangan antara realitas dan harapan, antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum. Ia memahami bahwa kepemimpinan adalah tentang menciptakan harmoni dalam disonansi, tentang menjaga keseimbangan di tengah perubahan. Keseimbangan inilah yang menjadi kunci keberhasilannya. Transformasi PT KAI adalah bukti bahwa dengan kerja keras, disiplin, dan integritas, perubahan yang tampak mustahil bisa menjadi kenyataan.

"Kita makan sehari tiga kali. Punya mobil lima juga tidak bisa dipakai sekaligus. Punya pakaian sepuluh juga tidak bisa dipakai bersamaan," katanya. Dalam ucapannya, kita menangkap ketulusan seorang pemimpin yang meletakkan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi. Sebuah prinsip yang sejalan dengan ajaran Stoisisme: bahwa kebahagiaan sejati datang dari pengendalian diri dan pengabdian pada yang lebih besar.

Kepemimpinan Jonan di PT KAI adalah contoh nyata bahwa dengan visi yang jelas, kehadiran di lapangan, dan komitmen pada prinsip, seorang pemimpin bisa mengubah arah sejarah. Ia bukan hanya memimpin dengan otoritas, tetapi dengan moralitas. Transformasi yang ia lakukan bukanlah sekadar pembenahan fisik, melainkan pembentukan ulang budaya kerja dan mentalitas, sebuah warisan yang tak ternilai harganya.

Dan dengan itu, Jonan memberi kita sebuah pelajaran. Bahwa perubahan tidak selalu datang dari revolusi besar atau retorika yang bergemuruh. Terkadang, ia lahir dari keputusan-keputusan kecil yang disiplin, dari keberanian untuk bertanya: "Bagaimana jika ini bisa lebih baik?"

Dan Jonan, dengan segala kekerasannya, ternyata menyalakan api perubahan itu. Ia menumbuhkan keyakinan baru bahwa yang tua bisa diperbaiki, yang rusak bisa diperbarui, dan yang telah hilang bisa ditemukan kembali.

Seperti rel-rel yang terentang jauh, perubahan yang Jonan bawa akan terus melaju ke depan. Sesekali, kereta mungkin akan berhenti di sebuah stasiun, tetapi tidak akan lama sebelum ia bergerak kembali—dengan kepastian, dengan kecepatan, dan dengan janji yang ditepati.

Ketika kita menatap kereta api yang melaju cepat di rel yang tertata rapi, kita mungkin bisa merasakan semangat Jonan yang masih hidup dalam setiap gerbongnya. Sebuah pengingat bahwa di balik setiap keberhasilan besar, ada sosok yang tak henti bekerja keras, berpikir cerdas, dan berdedikasi penuh untuk perubahan. n

Jakarta, 28 Agustus 2024

Di Antara Retakan Keadilan dan Cita-cita Emas

 


Di Antara Retakan Keadilan dan Cita-cita Emas

Oleh Dikdik Sadikin

Di mana sesungguhnya letak demokrasi kita? Jika suara-suara terbungkam di tengah hiruk-pikukyang diatur. Jika hukum, yang semestinya menegakkan keadilan, berubah menjadi alat kekuasaan yang membentengi keangkuhan.

Tahun-tahun yang panjang telah kita lalui sejak proklamasi. Pada setiap tanggal 17 Agustus, kita selalu merayakan kemerdekaan—kadang dengan gegap gempita, kadang dengan renungan hening. Tetapi di balik euforia itu, pertanyaan yang tak bisa dihindari muncul: kemerdekaan seperti apa yang telah kita capai?

Ada semacam retakan di dalam tubuh demokrasi kita—retakan yang, jika tak segera diperbaiki, bisa menjadi jurang yang dalam. Retakan yang sedikit demi sedikit mengikis cita-cita kemerdekaan bangsa ini. Retakan yang bermula dari jargon yang kita kutip dengan khidmat dari Lincoln tentang demokrasi. Bahwa demokrasi itu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Tapi, di negeri yang beribu pulau ini, apakah rakyat masih menjadi pusat? Atau rakyat, yang berada pada retakan seberang sana, hanya sekadar penonton yang diberi ilusi partisipasi?

Retakan itu tampak jelas ketika Putusan Mahkamah Konstitusi tidak lagi menjadi suara tertinggi dari keadilan, melainkan justru diabaikan. Putusan MK Nomor 60 dan 70 yang tak dihiraukan adalah cermin buram dari wajah kita yang semakin lupa pada kedaulatan rakyat. Seolah-olah kata-kata dalam Undang-Undang Dasar, yang seharusnya menjadi konstitusi tertinggi itu, hanyalah mantra kosong, yang berulang diucapkan tanpa makna. Bahkan tanpa rasa bersalah.

Saya jadi teringat dengan Sabda Nabi bahwa sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian. “Kalian mendoakan mereka dan mereka mendoakan kalian. Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah yang kalian benci dan mereka membenci kalian. Kalian melaknat mereka dan mereka melaknat kalian.” Lantas, bagaimana dengan kita?

Bukankah kita memiliki budaya yang luhur. Budaya yang menjunjung tinggi rasa kebersamaan, gotong royong, dan keikhlasan dalam membantu sesama. Itu yang selalu kita katakan dengan penuh takzim dan rasa percaya diri.

Keguyuban itu masih kita temukan dalam tradisi "gotong royong" di pedesaan. Masyarakat desa bersatu padu membangun desa atau membantu tetangga. Bersatu dalam rasa kebersamaan dan kepedulian, demi menghilangkan rasa perih yang juga turut dirasakan ketika di sekitarnya menderita. Itu sesungguhnya harta dan peradaban yang tak ternilai dari bangsa kita.

Namun, ketika kewenangan diberikan kepada sebagian kita untuk memerintah, ketika uang negara dan daerah berada di tangan yang sama, kemana perginya semua itu? Mengapa nilai-nilai luhur itu sering kali tersingkirkan? Kekuasaan kemudian berubah menjadi alat untuk kepentingan pribadi. Anggaran yang seharusnya untuk kesejahteraan bersama, malah dicuri, dikorupsi, tanpa rasa malu. Maka, retakan itu semakin dalam ketika mereka yang diberi amanah memilih mengkhianati rakyat yang seharusnya dibantu dengan kewenangan yang dimilikinya.

“Pengkhianatan” itu terjadi saat anggaran yang seharusnya digunakan untuk membangun sekolah, rumah sakit, dan infrastruktur publik, malah jatuh ke tangan-tangan serakah yang hanya memperkaya diri sendiri. Kebersamaan dalam kebaikan yang dulu menjadi kebanggaan kita, sekarang terasa asing ketika dihadapkan pada praktik-praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Alih-alih demi kebaikan, kebersamaan dalam kejahatan justru digunakan untuk mencuri harta negara, mengkhianati rakyat sebagai pemilik sah republik ini.

Benarkah nilai luhur bangsa itu kini hanya tinggal dongeng. Atau sebuah mimpi. Sebuah fatamorgana yang berusaha kita yakini demi mengobati luka, demi mengaburkan dan menafikkan kenyataan di depan mata?

Ada yang berkata, kekuasaan tanpa cinta adalah kekuasaan yang rapuh. Tapi kekuasaan di negeri ini, tampaknya, lebih takut kehilangan kendali daripada kehilangan cinta. Kita menyaksikan hukum menjadi instrumen yang bisa dibengkokkan demi kepentingan pribadi atau golongan. Dalam semangat yang berbeda, Gandhi pernah berujar bahwa kekuasaan yang sejati hanya bertahan jika ia didasari cinta. Maka, adakah cinta itu di antara kita?

Kita berulang kali mendengar janji, bahwa Indonesia akan menjadi negara yang maju pada tahun 2045. Di seberang sana, ada visi yang dinamakan "Indonesia Emas"—sebuah masa depan di mana kemakmuran dan kejayaan menyelimuti negeri ini. Tapi, cita-cita itu akan tetap menjadi mimpi jika pondasi demokrasi kita rapuh. Jika kedaulatan rakyat tergerus oleh ambisi sekelompok kecil yang berkuasa.

Barangkali, kita perlu kembali merenung. Setidaknya mengingat apa yang pernah dikatakan John Stuart Mill dalam “On Liberty”: kebebasan bukanlah hal yang bisa dijamin selamanya, tetapi sesuatu yang harus selalu dijaga dengan kewaspadaan. Rakyat harus tetap terjaga. Tak boleh terbuai oleh retorika yang menjanjikan, tetapi tak pernah memenuhi janji.

Lantas, apa yang bisa kita lakukan?

Pertama, kita perlu memperbaiki sistem yang telah menyempitkan ruang partisipasi. Ambang batas pencalonan yang tinggi hanyalah cara halus untuk membungkam suara-suara yang berani berbeda. Dan pendidikan politik, yang kini sering terabaikan, harus diajarkan sejak dini. Generasi muda tak boleh buta politik; mereka harus dibekali dengan kesadaran kritis.

Lebih dari itu, transparansi dan akuntabilitas pemerintah harus menjadi syarat mutlak. Pemerintah yang tertutup hanya akan menambah kecurigaan. Dan kecurigaan adalah awal dari keruntuhan kepercayaan. Teknologi bisa membantu, tapi yang terpenting adalah kemauan untuk terbuka.

Saya teringat dengan apa yang pernah dikatakan Bung Karno, bahwa perjuangan akan menjadi lebih sulit, ketika musuh yang kita hadapi bukan lagi penjajah dari bangsa asing, melainkan dari diri kita sendiri. Korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah musuh dari dalam yang harus dihancurkan jika kita ingin melihat Indonesia menjadi "Indonesia Emas."

Tetapi, tentu, harapan itu masih ada. Kita masih bisa memperbaiki retakan ini sebelum ia menjadi jurang. Kita masih bisa merajut kembali benang-benang demokrasi yang tercerai-berai. Dan ketika 2045 tiba, kita berharap bahwa kita bisa melihat ke belakang dengan bangga. Bahwa Indonesia bukan hanya merdeka secara fisik, tetapi juga merdeka dalam arti yang sebenarnya—merdeka dari ketidakadilan, dari ketakutan, dan dari penindasan. 

Jakarta, 28 Agustus 2024

Kamis, 01 April 2021

 Informasi dan komunikasi melalui teve kepada masyarakat menjadi penting dalam menjelaskan peran dan program pemerintah saat ini. Melalui TVRI Kalbar dalam talkshow pada pukul 17.00 WIB  Senin 29 Maret 2021, saya bersama Inspektur Kalbar Bu Marlyna dan Kadinkes Kalbar Pak Harisson, membahas pengawasan pelaksanaan vaksinasi Covid19 yang tengah berlangsung di Kalbar. Dipandu oleh mbak Nurul, pewawancara TVRI Kalbar.



Karikatur Cinderamata buat teman

 Untuk beberapa teman yang pindah ke unit kerja lain, aku buatkan mereka karikatur sebagai kenang-kenangan. Ilmu lama yang terpendam, yang ternyata masih cukup ampuh untuk dimanfaatkan.




Sentarum Library Cafe, "Ketika Birokrat Menulis"

 










Senin, 21 November 2016

Semua Ada Masanya (Untuk Puteriku Sheila Azzahra Sadikin di ulang tahunnya ke 18)

Semua memang ada masanya, Teh. Ketika Teteh lahir 18 tahun lalu, 21 November 1998, dan diberi nama Sheila Azzahra Sadikin, Teteh memberi pengalaman pertama kepada kami menjadi Ayah dan Bunda. Ada masanya ketika Teteh masih kecil, Ayah dan Bunda gendong Teteh ke mana-mana. Bahkan Teteh yang turut merasakan perjuangan di awal kehidupan kami berumah tangga, bagaimana Ayah dan Bunda merangkak dari bawah. Dengan motor yang butut, dengan mobil keluaran jaman baheula yang sering mogok. Ikut berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain: Semarang-Jakarta-Yogyakarta, kembali ke Jakarta lagi. Itu masa Teteh bukan saja berpindah-pindah kota tapi juga berpindah-pindah sekolah meski tak mengganggu Teteh untuk tetap mendapatkan ranking di kelas. Sampai kemudian kami memutuskan punya home base di Bogor. Dan ayah sendiri yang meneruskan berpindah-pindahnya itu ke Banjarbaru, Palembang, Surabaya dan Kendari, untuk kemudian Februari lalu kembali ke Jakarta..
Teteh sayang, sebagai sulung, jarak Teteh dengan adik Diaz yang lahir enam tahun kemudian itu memberikan ruang waktu yang panjang kepada kami untuk fokus perhatian dan kasih sayang kepada Teteh, apa pun situasinya. Tapi masa-masa Teteh kecil itu, yang tak pernah lepas dari ingatan kami, rasanya baru kemarin. Kami tersentak ketika beberapa bulan lalu Teteh meninggalkan kami untuk menetap di Bandung karena Teteh kuliah di Unpad, dan hari ini Teteh ulang tahun ke 18. Tapi kami sadar, Teh. Teteh dari kecil memang selalu punya keinginan kuat untuk mencapai apa yang diinginkan. Bukan hanya dengan belajar dan usaha, tapi juga dengan doa-doa yang Teteh panjatkan usai shalat Teteh, baik shalat yang wajib, maupun tahajud dan dhuha. Dan sekarang saatnya bagi Teteh untuk lebih keras lagi meraih semua cita-cita itu. Ayah dan Bunda hanya bisa memanjatkan doa agar Teteh selalu bahagia, dilindungi Allah dan tercapai semua yang Teteh inginkan. Kami percayakan semuanya ke Teteh, jaga kesehatan, belajar mandiri, jangan gampang menyerah, selalu baik terhadap sekeliling, dan jangan tinggalkan serta jangan telat untuk selalu beribadah....
Meskipun Teteh tidak selalu di samping kami, doa kami selalu menyertai Teteh. Karena semua memang ada masanya Teh. Meski rasanya baru kemarin kamu digendong, Teh. Rasanya baru kemarin.










Rabu, 02 November 2016

Kesan Sebagai Akuntan yang Nonton "The Accountant"

Ketika menonton “The Accountant”, saya membayangkan kemungkinan Bill Dubuque, sang penulis skenario, kesulitan memberikan judul yang dibintangi oleh Ben Affleck, Anna Kendrick dan J.K. Simmons itu, apakah harus diberikan judul The Accountant ataukah The Autism? Film yang saya tonton itu bicara mengenai laki-laki bernama Christian Wolff, diperankan aktor ganteng Ben Affleck, yang mengidap autisme sejak kecil (Wolff kecil diperankan Seth Lee), hingga dewasanya menjadi akuntan. Tapi dari dua pilihan itu, judul The Accountant diambil, barangkali karena stereotype masyarakat terhadap profesi ini. Orang autis belum tentu akuntan. Tetapi akuntan menurut pandangan masyarakat, bisa jadi, dekat-dekat dengan autis.

Simak saja film besutan Gavin O’Connor itu. Ketelitian sang tokoh Christian Wolff yang luar biasa, ketajaman konsentrasi untuk fokus sampai tujuan, yang digambarkan bagaimana sang tokoh semasa kanak berteriak demikian histerisnya ketika menyusun puzzle, hanya karena kehilangan satu kepingan puzzle terakhirnya, seakan menyampaikan pesan bahwa profesi akuntan ini cocok bahkan memberikan masa depan cerah bagi anak pengidap autisme.
Ayah Wolff sangat ingin anaknya menjadi "normal", mengabaikan potensi dan kelebihan yang dimiliki si anak. "Kamu berbeda. Cepat atau lambat, perbedaan menakuti orang," kata ayahnya. 

Maka, Wolff ketika dewasa memiliki sebuah firma kecil dan tinggal di sebuah rumah yang hampir kosong. Dia memiliki mobil dengan perangkat komputer canggih yang bisa berbicara.
Rupanya firma ini semacam kedok. Klien Wolff adalah penjahat kelas berat di Teheran, Tel Aviv, dan Napoli yang menyewa dirinya untuk membereskan keuangan mereka.
Kedisiplinan yang gila dan keinginan yang keras dari kecil sampai dewasa, bukan saja terlihat pada kecermatan terhadap angka-angka, tetapi juga pada kerapihan tata letak ruangan, penyusunan baju-baju, buku-buku, dan lukisan di ruangan, bahkan terlihat pula sampai kepada tata letak sendok garpu di meja dan tatanan lauk di piringnya saat ia hendak makan. Semua digambarkan dengan kedisiplinan dan energi ekstrim seorang autis yang, ternyata wow, sangat menunjang profesinya sebagai akuntan. Meski profesi akuntan yang dijalankan Wolff memang bukan di jalan yang lurus, dan jelas saja jalan yang diambilnya memiliki risiko sangat tinggi. 
"Kartel narkoba, penjual senjata, pencuci uang, pembunuh. Bayangkan rahasia yang dimilikinya," ujar Ray King (JK Simmons), direktur di Departemen Keuangan, yang memburu Wolff.

Mengetahui bahwa Departemen Keuangan memburunya, Wolff lalu mengambil klien legal, Living Robotic yang bergerak di bidang pengadaan kaki dan tangan palsu. Pemiliknya, Lamar Blackburn (John Lithgow), menugasi Wolff untuk menyelidiki perbedaan neraca sebesar 61 juta dollar AS yang terselip pada 15 tahun pembukuan.

Wolff mendapat bantuan Dana Cummings (Anna Kendrick), akuntan yunior dan penggemar berat matematika seperti dirinya.
Kehadiran Dana menggugah Wolff yang kaku dan penyendiri. Sinergi keduanya menghasilkan kinerja berupa "temuan" pembukuan dalam pembukuan selama 15 tahun buku sekaligus analisis penyebabnya. Tak pelak lagi, dengan temuan itu, nyawa keduanya terancam. Baku pukul dan baku tembak pun mewarnai film ini. 

Yang tidak disangka, film ini juga mengambil setting Indonesia. Begini: untuk menyalurkan energi berlebihnya, sang ayah menyuruh Wolff dan kakaknya semasa kanak, belajar pencak silat di Jakarta. Ayahnya sendiri yang menunggu di serambi saat latihan berlangsung di halaman, sambil membaca The Jakarta Post. Meski anaknya sudah babak belur dan tersungkur karena dihajar sang guru dalam latihan itu, sang ayah masih memerintahkan sang guru untuk meneruskan latihannya. Adalah Wolff sang anak yang merespon, dengan muka sembab penuh luka, berbahasa Indonesia kepada guru pencak silatnya, “Tidak apa-apa. Lanjutkan saja...” 

Akuntansi dan auditing sendiri, dengan demikian, bisa dianggap memerlukan energi lebih yang dapat ideal dipenuhi seorang autis, seperti halnya pencak silat. Keseriusan dan energi berlebih ditunjukkan manakala Wolff dewasa di Amerika, yang dalam tempo semalam dirinya sanggup mengaudit akuntansi 15 tahun tahun buku, dengan temuan kecurangan yang menjadi sentral permasalahan film ini.

Sosok akuntan di sini barangkali hanya salah satu obsesi dari sang produser Lynette Howell dan Mark Williams. Karena biasanya akuntan digambarkan nerd dan ”cupu”, seperti akuntan yang digambarkan di film The Untouchable garapan Brian De Palma (1987) yang akuntannya justru menjadi sasaran empuk pembunuhan. Sebaliknya, di film ini sang akuntan tampil tidak hanya piawai bermain dengan kalkulator, tetapi juga mahir memainkan senjata berat dan berotot. Imaji Affleck yang lekat sebagai pemeran Bruce Wayne di fim Batman, tampaknya tidak ingin disia-siakan. Maka sang akuntan di film ini pun menjelma menjadi sosok perkasa dan dingin, bagaikan Batman tanpa kostum. Muncul lah sosok akuntan yang bukan saja mahir berhitung mengurai angka-angka akuntansi, kemudian menemukan kecurangan keuangan, tetapi bahkan juga, seperti Batman, bisa menguber (sekaligus diuber) dengan senjata lengkap di tangan, dan piawai berkelahi dengan kemahiran pencak silatnya melawan si pembuat kecurangan tadi beserta antek-anteknya. 

Kalau pun ada yang mengganggu di film ini adalah metode penceritaan flash back masa kecil ke dewasa yang sering bolak-balik. Jalan ceritanya berputar-putar dan memerlukan banyak tokoh untuk mengupasnya satu per satu, seperti menyusun puzzle. Hal ini menyebabkan penonton bakal tidak bisa meleng barang sedikitpun kalau tidak ingin ketinggalan cerita.
Semua tokohnya seakan memiliki rahasia. Terlebih perjumpaan Wolff dengan Braxton (John Bernthal), penjahat yang memburunya, berakhir mengejutkan.

Selain itu, gambaran bahwa anak autis kelak bisa menjadi akuntan yang hebat, barangkali perlu dicermati secara hati-hati. Bahwa profesi akuntan, terutama sebagai auditor forensik yang digambarkan dalam film itu, memerlukan keseriusan tingkat tinggi, sebenarnya tidak salah. Audit forensik sendiri adalah audit yang bertujuan untuk membuktikan ada atau tidaknya fraud (kecurangan) yang hasilnya dapat digunakan dalam proses litigasi atau hukum. Tapi bahwa profesi akuntan ini cocok untuk mereka yang mengidap autisme, atau sebaliknya bahwa akuntan itu umumnya pengidap autisme, memang belum tentu benar, walaupun bisa saja terjadi. Setidaknya belum ada penelitian semacam itu. 

Hanya saja, sebuah film, seperti The Accountant dan film-film box office lainnya, tampaknya memang memerlukan motif dengan dramatisasi dan romantisme, bahkan thriller tersendiri, yang cenderung berlebihan untuk dapat menarik hati penonton, entah akuntan atau bukan. Karena itu, soal akuntan yang autis, saya yakin teman-teman seprofesi pun tak bakal ambil pusing. Namanya juga film.

(Dikdik Sadikin)