Senin, 21 November 2016

Semua Ada Masanya (Untuk Puteriku Sheila Azzahra Sadikin di ulang tahunnya ke 18)

Semua memang ada masanya, Teh. Ketika Teteh lahir 18 tahun lalu, 21 November 1998, dan diberi nama Sheila Azzahra Sadikin, Teteh memberi pengalaman pertama kepada kami menjadi Ayah dan Bunda. Ada masanya ketika Teteh masih kecil, Ayah dan Bunda gendong Teteh ke mana-mana. Bahkan Teteh yang turut merasakan perjuangan di awal kehidupan kami berumah tangga, bagaimana Ayah dan Bunda merangkak dari bawah. Dengan motor yang butut, dengan mobil keluaran jaman baheula yang sering mogok. Ikut berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain: Semarang-Jakarta-Yogyakarta, kembali ke Jakarta lagi. Itu masa Teteh bukan saja berpindah-pindah kota tapi juga berpindah-pindah sekolah meski tak mengganggu Teteh untuk tetap mendapatkan ranking di kelas. Sampai kemudian kami memutuskan punya home base di Bogor. Dan ayah sendiri yang meneruskan berpindah-pindahnya itu ke Banjarbaru, Palembang, Surabaya dan Kendari, untuk kemudian Februari lalu kembali ke Jakarta..
Teteh sayang, sebagai sulung, jarak Teteh dengan adik Diaz yang lahir enam tahun kemudian itu memberikan ruang waktu yang panjang kepada kami untuk fokus perhatian dan kasih sayang kepada Teteh, apa pun situasinya. Tapi masa-masa Teteh kecil itu, yang tak pernah lepas dari ingatan kami, rasanya baru kemarin. Kami tersentak ketika beberapa bulan lalu Teteh meninggalkan kami untuk menetap di Bandung karena Teteh kuliah di Unpad, dan hari ini Teteh ulang tahun ke 18. Tapi kami sadar, Teh. Teteh dari kecil memang selalu punya keinginan kuat untuk mencapai apa yang diinginkan. Bukan hanya dengan belajar dan usaha, tapi juga dengan doa-doa yang Teteh panjatkan usai shalat Teteh, baik shalat yang wajib, maupun tahajud dan dhuha. Dan sekarang saatnya bagi Teteh untuk lebih keras lagi meraih semua cita-cita itu. Ayah dan Bunda hanya bisa memanjatkan doa agar Teteh selalu bahagia, dilindungi Allah dan tercapai semua yang Teteh inginkan. Kami percayakan semuanya ke Teteh, jaga kesehatan, belajar mandiri, jangan gampang menyerah, selalu baik terhadap sekeliling, dan jangan tinggalkan serta jangan telat untuk selalu beribadah....
Meskipun Teteh tidak selalu di samping kami, doa kami selalu menyertai Teteh. Karena semua memang ada masanya Teh. Meski rasanya baru kemarin kamu digendong, Teh. Rasanya baru kemarin.










Rabu, 02 November 2016

Kesan Sebagai Akuntan yang Nonton "The Accountant"

Ketika menonton “The Accountant”, saya membayangkan kemungkinan Bill Dubuque, sang penulis skenario, kesulitan memberikan judul yang dibintangi oleh Ben Affleck, Anna Kendrick dan J.K. Simmons itu, apakah harus diberikan judul The Accountant ataukah The Autism? Film yang saya tonton itu bicara mengenai laki-laki bernama Christian Wolff, diperankan aktor ganteng Ben Affleck, yang mengidap autisme sejak kecil (Wolff kecil diperankan Seth Lee), hingga dewasanya menjadi akuntan. Tapi dari dua pilihan itu, judul The Accountant diambil, barangkali karena stereotype masyarakat terhadap profesi ini. Orang autis belum tentu akuntan. Tetapi akuntan menurut pandangan masyarakat, bisa jadi, dekat-dekat dengan autis.

Simak saja film besutan Gavin O’Connor itu. Ketelitian sang tokoh Christian Wolff yang luar biasa, ketajaman konsentrasi untuk fokus sampai tujuan, yang digambarkan bagaimana sang tokoh semasa kanak berteriak demikian histerisnya ketika menyusun puzzle, hanya karena kehilangan satu kepingan puzzle terakhirnya, seakan menyampaikan pesan bahwa profesi akuntan ini cocok bahkan memberikan masa depan cerah bagi anak pengidap autisme.
Ayah Wolff sangat ingin anaknya menjadi "normal", mengabaikan potensi dan kelebihan yang dimiliki si anak. "Kamu berbeda. Cepat atau lambat, perbedaan menakuti orang," kata ayahnya. 

Maka, Wolff ketika dewasa memiliki sebuah firma kecil dan tinggal di sebuah rumah yang hampir kosong. Dia memiliki mobil dengan perangkat komputer canggih yang bisa berbicara.
Rupanya firma ini semacam kedok. Klien Wolff adalah penjahat kelas berat di Teheran, Tel Aviv, dan Napoli yang menyewa dirinya untuk membereskan keuangan mereka.
Kedisiplinan yang gila dan keinginan yang keras dari kecil sampai dewasa, bukan saja terlihat pada kecermatan terhadap angka-angka, tetapi juga pada kerapihan tata letak ruangan, penyusunan baju-baju, buku-buku, dan lukisan di ruangan, bahkan terlihat pula sampai kepada tata letak sendok garpu di meja dan tatanan lauk di piringnya saat ia hendak makan. Semua digambarkan dengan kedisiplinan dan energi ekstrim seorang autis yang, ternyata wow, sangat menunjang profesinya sebagai akuntan. Meski profesi akuntan yang dijalankan Wolff memang bukan di jalan yang lurus, dan jelas saja jalan yang diambilnya memiliki risiko sangat tinggi. 
"Kartel narkoba, penjual senjata, pencuci uang, pembunuh. Bayangkan rahasia yang dimilikinya," ujar Ray King (JK Simmons), direktur di Departemen Keuangan, yang memburu Wolff.

Mengetahui bahwa Departemen Keuangan memburunya, Wolff lalu mengambil klien legal, Living Robotic yang bergerak di bidang pengadaan kaki dan tangan palsu. Pemiliknya, Lamar Blackburn (John Lithgow), menugasi Wolff untuk menyelidiki perbedaan neraca sebesar 61 juta dollar AS yang terselip pada 15 tahun pembukuan.

Wolff mendapat bantuan Dana Cummings (Anna Kendrick), akuntan yunior dan penggemar berat matematika seperti dirinya.
Kehadiran Dana menggugah Wolff yang kaku dan penyendiri. Sinergi keduanya menghasilkan kinerja berupa "temuan" pembukuan dalam pembukuan selama 15 tahun buku sekaligus analisis penyebabnya. Tak pelak lagi, dengan temuan itu, nyawa keduanya terancam. Baku pukul dan baku tembak pun mewarnai film ini. 

Yang tidak disangka, film ini juga mengambil setting Indonesia. Begini: untuk menyalurkan energi berlebihnya, sang ayah menyuruh Wolff dan kakaknya semasa kanak, belajar pencak silat di Jakarta. Ayahnya sendiri yang menunggu di serambi saat latihan berlangsung di halaman, sambil membaca The Jakarta Post. Meski anaknya sudah babak belur dan tersungkur karena dihajar sang guru dalam latihan itu, sang ayah masih memerintahkan sang guru untuk meneruskan latihannya. Adalah Wolff sang anak yang merespon, dengan muka sembab penuh luka, berbahasa Indonesia kepada guru pencak silatnya, “Tidak apa-apa. Lanjutkan saja...” 

Akuntansi dan auditing sendiri, dengan demikian, bisa dianggap memerlukan energi lebih yang dapat ideal dipenuhi seorang autis, seperti halnya pencak silat. Keseriusan dan energi berlebih ditunjukkan manakala Wolff dewasa di Amerika, yang dalam tempo semalam dirinya sanggup mengaudit akuntansi 15 tahun tahun buku, dengan temuan kecurangan yang menjadi sentral permasalahan film ini.

Sosok akuntan di sini barangkali hanya salah satu obsesi dari sang produser Lynette Howell dan Mark Williams. Karena biasanya akuntan digambarkan nerd dan ”cupu”, seperti akuntan yang digambarkan di film The Untouchable garapan Brian De Palma (1987) yang akuntannya justru menjadi sasaran empuk pembunuhan. Sebaliknya, di film ini sang akuntan tampil tidak hanya piawai bermain dengan kalkulator, tetapi juga mahir memainkan senjata berat dan berotot. Imaji Affleck yang lekat sebagai pemeran Bruce Wayne di fim Batman, tampaknya tidak ingin disia-siakan. Maka sang akuntan di film ini pun menjelma menjadi sosok perkasa dan dingin, bagaikan Batman tanpa kostum. Muncul lah sosok akuntan yang bukan saja mahir berhitung mengurai angka-angka akuntansi, kemudian menemukan kecurangan keuangan, tetapi bahkan juga, seperti Batman, bisa menguber (sekaligus diuber) dengan senjata lengkap di tangan, dan piawai berkelahi dengan kemahiran pencak silatnya melawan si pembuat kecurangan tadi beserta antek-anteknya. 

Kalau pun ada yang mengganggu di film ini adalah metode penceritaan flash back masa kecil ke dewasa yang sering bolak-balik. Jalan ceritanya berputar-putar dan memerlukan banyak tokoh untuk mengupasnya satu per satu, seperti menyusun puzzle. Hal ini menyebabkan penonton bakal tidak bisa meleng barang sedikitpun kalau tidak ingin ketinggalan cerita.
Semua tokohnya seakan memiliki rahasia. Terlebih perjumpaan Wolff dengan Braxton (John Bernthal), penjahat yang memburunya, berakhir mengejutkan.

Selain itu, gambaran bahwa anak autis kelak bisa menjadi akuntan yang hebat, barangkali perlu dicermati secara hati-hati. Bahwa profesi akuntan, terutama sebagai auditor forensik yang digambarkan dalam film itu, memerlukan keseriusan tingkat tinggi, sebenarnya tidak salah. Audit forensik sendiri adalah audit yang bertujuan untuk membuktikan ada atau tidaknya fraud (kecurangan) yang hasilnya dapat digunakan dalam proses litigasi atau hukum. Tapi bahwa profesi akuntan ini cocok untuk mereka yang mengidap autisme, atau sebaliknya bahwa akuntan itu umumnya pengidap autisme, memang belum tentu benar, walaupun bisa saja terjadi. Setidaknya belum ada penelitian semacam itu. 

Hanya saja, sebuah film, seperti The Accountant dan film-film box office lainnya, tampaknya memang memerlukan motif dengan dramatisasi dan romantisme, bahkan thriller tersendiri, yang cenderung berlebihan untuk dapat menarik hati penonton, entah akuntan atau bukan. Karena itu, soal akuntan yang autis, saya yakin teman-teman seprofesi pun tak bakal ambil pusing. Namanya juga film.

(Dikdik Sadikin)

Senin, 10 Oktober 2016

Makna Integritas dari Seorang Bapak yang Duduk di Sebelahku

, "Kalau begitu, kita berjuang bersama, Pak", demikian laki-laki 74 tahun di sebelahku itu menirukan ucapan anaknya sekitar 30 tahun lalu kepada dirinya. Dalam perjalanan pulang Surabaya-Jakarta (Bandara Halim), Sabtu pagi 8 Oktober 2016, entah bagaimana kami bercakap, sampai kepada Pak Kodrat, nama Bapak itu, yang tujuh tahun belakangan ini tinggal di Cikarang setelah pindah dari Surabaya, menceritakan perjuangan hidupnya dulu di Surabaya membangun keluarga.
Dirinya waktu itu hanya seorang supir. Jumlah anaknya empat, semua laki-laki. Tetangganya mencemooh, "Bagaimana mungkin seorang supir bisa menyekolahkan empat anak?" Maka waktu itu, demi mengetahui ucapan itu, anaknya yang masih SD pun berkata kepada sang Bapak, seperti dikutip di awal tadi. "Kita berjuang bersama, Pak..." Ini yang membuat Pak Kodrat tertegun. Tapi tekad itu pula yang membuat keluarga itu bangkit menjadi tim yang solid.
"Kami dulu miskin sekali. Untuk sepeda gowes saja, itu masih mimpi. Kami ke mana-mana jalan kaki. Untuk makan, tak jarang telur satu dibagi empat. Bahkan seringkali saya makan jambu dengan memetik dari halaman untuk mengganjal isi perut, demi uangnya untuk dibelikan lauk buat anak-anak makan dengan gizi yang lebih baik."
Keperihan hidupnya makin terasa saat anaknya suatu ketika sakit dan tidak ada uang untuk berobat. Sang Bapak yang masih muda waktu itu berjalan kaki sekitar 10 km untuk mencari bantuan kepada orangtuanya. Tapi sesampainya di depan orangtua, lidahnya kelu untuk meminta. Tak lama ia pun kembali berjalan pulang untuk menempuh 10 km lagi. Ketika berjalan kaki itu, tiba-tiba dirinya bertemu kawan lama yang menghampiri dengan mobilnya, dan memberikannya dana tanpa diminta dengan jumlah besar. Doa dan keikhlasan seringkali mendapat jawaban dari Yang Maha Kuasa yang tidak disangka-sangka. "Karena Dia Maha Pendengar," imbuhnya.
Saat anak-anaknya beranjak dewasa, keprihatinan masih menyelimuti keluarganya.
Di sekolah maupun kuliah, semua anak-anaknya mendapatkan beasiswa karena ketekunan dan kecerdasannya. Meski, pulang dari sekolah mereka dengan sukarela menjadi loper koran. "Uang hasil loper koran itu bukan buat dirinya, tapi diberikan kepada kami orangtuanya.."
Ketika anak-anaknya kuliah, meski mendapat beasiswa, tak banyak buku yang dibeli karena mereka mengerti kondisi ekonomi orangtuanya. Mereka pun mengandalkan buku-buku perpustakaan di kampus.
"Saya suka sedih melihat bagaimana anak-anak saya berangkat kuliah hanya dengan satu buku tulis yang dilipat, sementara teman-temannya bawa buku-buku yang besar-besar." Tapi anak-anaknya malah memberikan ketegaran kepada diri sang Bapak. "Ngga apa-apa Pak. Biar aja. Mereka bawa buku-buku, tapi kami bawa otak. Banyak dari mereka membawa buku ke kampus tapi tidak bawa otaknya.."
Semua diceritakan laki-laki tua yang masih tampak gagah itu dengan tatapan menerawang.
Kepedihan dan perjuangan panjang dengan diiringi keikhlasan dan kesabaran itu, kemudian berbuah manis. Dari sisi pekerjaan, kini anak-anaknya meraih sukses. Ada yang bekerja di PT Unilever, ada yang sebagai auditor BPK, yang bekerja di pabrik baja dan ada yang menjadi pejabat di PT Pertamina. Satu yang dipesankan Pak Kodrat kepada anak-anaknya adalah integritas.
"Saya punya kekhawatiran, dengan masa kecilnya yang melarat itu, dengan kedudukannya sekarang, mereka bisa saja mendendam. Tapi ternyata tidak. Mereka bisa buktikan untuk tetap bisa menjaga integritas."
"Kemudian, lebih jauh lagi, saya punya kekhawatiran juga dengan calon atau pasangan mereka. Katakanlah mereka berintegritas,, tapi bisa saja pasangan mereka mendesak secara eknomi sehingga bisa meruntuhkan integritas. Tapi alhamdulillah itu juga tidak terjadi. Doa kami selalu menyertai, dan saya yakin Allah menjaga mereka," kata kakek lima cucu itu.
Kunci dari semua itu, menurut Pak Kodrat adalah rezeki yang halal dari setiap tetes keringat dan munajat yang tidak pernah henti-hentinya dipanjatkan kepada Allah SWT. Selain itu, sambil menatap mataku erat, katanya: "Jangan pernah berhenti bersyukur dan berprasangka baik kepada Allah, apa pun dan dengan kondisi apa pun yang Allah berikan kepada kita. Percayalah, Allah tidak pernah tidur..."
Percakapan di atas ribuan feet Laut Jawa itu pun berakhir saat pesawat mendarat di lapangan terbang Halim Perdanakusumah, Jakarta.
Aku menjabat erat tangan Bapak itu. Berterima kasih atas pengalaman yang mencerahkan sekaligus mengharukan itu, sambil menyeka bening yang entah mengapa merembes di ujung mataku.

Jumat, 26 Agustus 2016

TIGA RESEP JITU ANTI KORUPSI KEPALA LKPP

Kepala LKPP menyarankan tiga jurus anti korupsi, agar para pejabat pemerintah terhindar dari permasalahan hukum. Apa saja itu?

Bersama Kepala LKPP Agus Prabowo (kanan).



Saya bertemu dengan Pak Agus Prabowo, Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP)  di acara Koordinasi dan Supervisi Pencegahan Korupsi (Korsupgah) kerjasama antara KPK dan BPKP, pada Rabu 24 Agustus 2016 di aula Kantor Gubernur Kalimantan Selatan di Banjarmasin. Pak Agus, seperti biasa, tampak energik dan santun. Dalam forum itu, Kepala LKPP yang hobby melukis, dan anggota kelompok ARPEL 21 atau “arsitek pelukis dua jiwa jadi satu”, bicara banyak tentang anti korupsi.
Menurut arsitek yang resmi dilantik sebagai Kepala LKPP tanggal tiga bulan Juli lalu itu, korupsi banyak terjadi di sektor pengadaan. Bahkan, menyimak kejadian penangkapan Gubernur oleh KPK soal izin tambang,  pemberian izin itu pun, menurut Agus, adalah pengadaan izin. Itu sebabnya, karena jalannya operasional dan infrastruktur pemerintah hampir seluruhnya melalui mekanisme pengadaan, maka struktur unit layanan pengadaan (ULP) harus diperkuat dengan pembentukan kelembagaannya secara permanen. Selain itu, mekanisme pelelangannya disarankan menggunakan e-procurement. "Kami merekomendasikan agar dibentuk ULP permanen di pemda.  Selain itu, disarankan pula untuk pelelangan berbasiskan teknologi informasi, sehingga kontak fisik antara pihak-pihak yang terkait pelelangan akan jauh berkurang, yang diharapkan dapat menekan terjadinya korupsi."
 Tak cukup dengan itu, untuk meminimalisir terjadinya korupsi, lembaganya akan memperluas cakupan e-katalog. "Ke depan, apa pun barang yang dibutuhkan unit kerja pemerintah, Anda tinggal buka e-katalog. Beli dari daftar e-catalog yang ada. Dengan demikian, akan semakin sedikit pengadaan yang harus melalui pelelangan. Pelelangan hanya dilakukan untuk pengadaan yang tidak ada di e-catalog. Misalnya, bikin dam atau bendungan. Mau beli dimana kita bendungan kalau tidak harus dibangun oleh kontraktor? Dan pemilihan kontraktor ini harus dilelang. Tapi kalau untuk pengadaan barang-barang yang tinggal dibeli, banyak dijual di pasar, untuk apa lagi dilakukan pelelangan? Tinggal buka saja e-katalog pengadaan," ujar Kepala LKPP yang sebelumnya menjabat Deputi Pembinaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia LKPP itu lugas.
Diakui salah satu alumnus terbaik Pendidikan Lemhannas RI tahun 2007 itu, meskipun sudah menggunakan teknologi informasi, dalam praktiknya tetap saja ada yang mencoba akal-akalan. Misalnya, pada pendaftaran para peserta lelang. Peserta yang tidak dijagokan dihambat melalui bandwith dengan cara panitia menyibukkan jaringan internetnya dengan, misalnya, memutar youtube, sehingga peserta gagal mendaftar. Sedangkan peserta yang dijagokan, disepakati waktunya, yang pada jam tersebut jaringan akan dibuat sepi sehingga peserta yang dijagokan tersebut bisa mulus mendaftar. “Cara menghambat pendaftaran peserta lelang itu disebut ‘mencekik bandwith’,” ujar Pak Agus. Maka menurut Pak Agus, audit yang dilakukan pun untuk hal ini tidak bisa lagi dengan audit secara konvesional. Harus dilakukan dengan e-audit.   
Toh, di atas semua itu, menurut lelaki kelahiran Yogyakarta 1958 yang besar di Bandung dan masuk ITB Jurusan Arsitektur tahun 1977, lulus tahun 1984, memperoleh gelar doktor tahun 1996 dari Hokkaido University di Sapporo - Jepang dalam bidang Urban and Regional Planning khususnya Urban Redevelopment itu, untuk memberantas korupsi yang terpenting adalah komitmen pimpinan. Kalau pun pimpinan sudah berniat untuk benar-benar komitmen untuk tidak korupsi, tetapi masih juga ada kekhawatiran tersangkut masalah hukum di kemudian hari, tenang saja. Pak Agus Prabowo punya resep jitu. Resepnya adalah hindari tiga hal, yaitu: fiktif, markup dan suap. Kalau tiga itu saja dihindari, kata Pak Agus Prabowo, insya Allah Anda akan aman. Percayalah.

(Dikdik Sadikin)

Rabu, 18 Mei 2016

Hongkong!

Benchmarking Selasa 29 Maret sampai dengan Sabtu 2 April 2016 di Hongkong, kami jumpai inovasi dengan kekentalan semangat memacu bisnis yang luar biasa. Semangat itu pula yang antara lain terlihat pada Independent Commission Against Corruption (ICAC) semacam KPKnya Hongkong. Cakupan korupsi yang diberantasnya tidak hanya di wilayah keuangan negara, tetapi juga di wilayah privat, guna menjaga praktik bisnis yang sehat. Kami juga mengunjungi Hongkong Electric, semacam PLNnya Hongkong, juga Environment Protection Department, yang banyak berinovasi soal lingkungan, terutama dengan prinsip 4 R nya: reuse, reduce, recycle, and recovery. Selain juga, tentunya, menengok Museum Madame Tussauds Hongkong yang memajang patung lilin para tokoh ternama itu.



Dari kinerja berbagai entitas yang terkait dengan kepentingan publik di Hongkong, ada satu prinsip yang menonjol, yaitu keseimbangan manfaat bagi semua pihak. 
Kesepakatan hasil kinerja pemerintah baik inter departemen maupun antara pemerintah dengan kelompok bisnis, tidak hanya "win-win" solution. Tapi "win-win-win" (triple win) solution. Karena bagi mereka tiga pihak yang harus untung, yaitu pemerintah, swasta dan terutama masyarakatnya.

Dengan semangat itu, walaupun tanah daratannya total berisi batu dan tidak ada sumber daya alam, jadilah Hongkong sebuah negara kota yang maju. Meski masyarakatnya sebanyak 7,2 juta jiwa itu harus hidup berdempet-dempet ke atas, di dalam apartemen yang, umumnya, dari luar terlihat kumuh karena lama tak dicat. Hanya orang sangat kaya yang bisa punya rumah di atas tanah dengan halaman sendiri. Sebuah kemewahan bagi mereka yang di Indonesia adalah hal biasa. Tak pelak, kebutuhan lahan pun mendorong reklamasi (mengurug laut untuk lahan). Uniknya, laut diurug tidak dengan mengambil tanah di daratan. Tapi mengambil tanah dari dasar laut yang dangkal, untuk mengurug laut sekitar pantai guna menambah luas daratan mereka. Di satu sisi bukit-bukit mereka terjaga. Tetapi di lain sisi, profesi nelayan sebagai profesi sejati penduduk asli pun tergusur, akibat pengerugan laut dangkal yang bikin nyaris tidak bersisa lagi ikan di sekitar laut mereka. Toh soal ikan, Hongkong tak perlu risau. Karena di laut negara tetangga, termasuk Indonesia, masih banyak ikan yang bisa dijaring dan dibawa ke Hongkong. Termasuk ikan yang kami makan di sana.

Tapi Hongkong juga punya ironi. Di tengah ramainya dinamika kemajuan itu, Hongkong terasa kering dan sepi dari hiruk pikuk patriotisme dan kepahlawanan. Bagi mereka orang-orang yang sangat kaya itulah pahlawan. Yang mampu memacu kemajuan Hongkong hingga seperti saat ini. Itu sebabnya, nama para konglomerat pun diabadikan pada gedung-gedung mereka. Nama jalan dipakai nama Gubernur Jendral Inggris yang pernah memerintah Hongkong. 

Tidak ada nama pahlawan yang lahir dari sebuah kancah perjuangan berdarah melawan penjajah, seperti yang selalu kita kenang dengan takzim dalam momen-momen sejarah Indonesia di hari-hari bertanggal merah di almanak kita. Di Hongkong, semua patriotisme, bahkan kepahlawanan sekalipun, bisa berdamai dengan kalkulasi untung rugi dunia bisnis.
Dengan semua itu, lima hari kami ke sana, sudah cukup untuk membuahkan rindu kami kembali ke Indonesia tercinta.

Bersama "Jackie Chan".

Bersama Pak Konjen Kedubesan RI di Hongkong.

Belanja di Ladies Market.

Bersama guide kami Pak Dennis, atau The Din Fang, yang fasih sekali berbahasa Indonesia.


Bersama Pak Samid dan Pak Wasis.


Di kelas.

Menjelang dinner.

Takzim mendapat materi di Hongkong Electric.